Rabu, 04 Januari 2023

MATERI SEDIAAN SUPPOSITORIA (BAGIAN 02)

Prosedur Pembuatan Suppositoria 

Sediaan suppositoria secara umum dapat dibuat dengan 3 metode yaitu menggunakan cetakan, menggunakan kompresi, dan menggulung serta membentuk dengan tangan. 

1. Dengan cetakan 

Metode ini menggunakan alat cetakan suppositoria yang terbuat dari besi dan dilapisi nikel atau dari bahan logam lainnya. Alat cetakan suppositoria mula-mula dibasahi terlebih dahulu dengan parafin cair bila memakai bahan dasar gelatin gliserin, akan tetapi jika suppositoria yang akan dibuat menggunakan bahan dasar oleum cacao atau PEG tidak perlu dibasahi terlebih dahulu, karena dapat menyebabkan suppositoria menjadi mengerut pada saat pendinginan dan terlepas dari cetakan. 

2. Dengan kompresi 

Metode ini menggunakan alat dengan sistem tekanan. Pada metode ini, proses penuangan massa suppositoria, pendinginan dan pelepasan suppositoria dilakukan dengan mesin secara otomatis. Kapasitas mesin dapat menghasilkan suppositoria sebanyak 3500-6000 tiap jam. 

3. Dengan tangan 

Metode ini digunakan pada pembuatan suppositoria dengan bahan dasar oleum cacao dan untuk skala kecil, serta untuk bahan obat yang tidak tahan panas. Metode ini tidak cocok dilakukan pada wilayah dengan iklim panas. Oleh karena sudah adanya cetakan dalam pembuatan suppositoria dengan bermacam-macam ukuran dan bentuk, maka pembuatan suppositoria dengan tangan oleh ahli farmasi sekarang rasanya sudah hampir tidak pernah dilakukan, akan tetapi metode melinting dan membentuk suppositoria dengan tangan merupakan bagian dari sejarah seni para ahli farmasi. Metode yang sering dan lazim digunakan baik dalam skala kecil maupun industri adalah metode pencetakan. 

Pembuatan suppositoria dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 

1. Memilih bahan dasar yang cocok untuk tujuan pemberian suppositoria, baik yang dapat meleleh pada suhu tubuh maupun yang dapat larut dalam cairan yang ada di dalam rektum 
2. Bahan obat dilarutkan denga basis suppositoria, bila perlu dengan pemanasan 
3. Apabila bahan obat sukar larut dalam basis suppositoria, maka bahan obat tersebut dibuat serbuk halus terlebih dahulu 
4. Massa campuran bahan obat dan basis suppositoria dicampurkan hingga homogen dalam bentuk cairan, dituang ke dalam cetakan suppositoria kemudian didinginkan 
5. Cetakan suppositoria terbuat dari besi yang dilapisi nikel atau dari logam lain yang cocok, tetapi ada juga yang menggunakan campuran plastik. Cetakan sebaiknya mudah dibuka secara longitudinal atau memanjang untuk dapat mengeluarkan suppositoria dengan mudah 
6. Cetakan untuk bacilla dapat menggunakan tube kaca atau gulungan kertas dengan ukuran tertentu
7. Formula suppositoria yang akan dibuat sebaiknya dilebihkan sebanyak 10% untuk mengatasi massa suppositoria yang hilang akibat melekat pada alat cetakan. 
 8. Parafin cair dapat digunakan untuk melapisi cetakan suppositoria dengan basis gelatin gliserin, atau dapat pula digunakan spiritus saponatus (soft soap liniment) sebagai pelapis cetakan, kecuali untuk suppositoria yang mengandung garam logam karena akan bereaksi dengan sabun dan sebagai gantinya dapat digunakan oleum ricini (minyak jarak) dalam etanol. 
9. Suppositoria dengan basis oleum cacao dan PEG tidak perlu diberi pelicin pada cetakannya karena pada proses pendinginan bahan dasar tersebut dapat mengerut, sehingga suppositoria akan mudah lepas dari cetakannya.

Pengemasan Suppositoria 

Suppositoria dengan basis gelatin gliserin disimpan dalam wadah gelas yang tertutup rapat agar dapat mencegah terjadinya kelembaban pada suppositoria. Sedangkan untuk suppositoria dengan basis oleum cacao dibungkus terpisahpisah atau dipisahkan satu sama lain untuk mencegah terjadinya hubungan antar suppositoria menjadi melekat atau menempel. 

Suppositoria yang mengandung bahan obat pekat biasanya juga dikemas terpisah satu persatu dengan bahan tidak tembus cahaya seperti alumunium foil. Secara umum, suppositoria bersifat tidak tahan panas, maka dalam penyimpanan juga harus diperhatikan suhunya agar tidak merusak bahan obat maupun basis. Suppositoria harus disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat yang sejuk

Pemeriksaan Mutu 

Suppositoria Setelah suppositoria dicetak, untuk memastikan mutu yang dihasilkan berkualitas baik dan dapat layak untuk digunakan, maka dilakukan pemeriksaan sebagai berikut : 
1. Melakukan uji penetapan kadar zat aktif yang disesuaikan dengan yang tertera pada etiketnya 
2. Melakukan uji titik lebur, terutama untuk suppositoria dengan basis oleum cacao 
3. Melakukan uji kerapuhan, untuk mencegah suppositoria rusak atau rapuh pada saat proses distribusi 
4. Melakukan uji waktu hancur, syarat waktu hancur suppositoria dengan basis oleum cacao adalah 3 menit, sedangkan basis PEG adalah 15 menit 5. Melakukan uji homogenitas 

Selasa, 03 Januari 2023

MATERI SEDIAAN SUPPOSITORIA (BAGIAN 01)

PENDAHULUAN

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang diberikan melalui rektal, vagina, atau uretra. 
Sediaan ini umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat digunakan untuk melindungi jaringan setempat, atau sebagai media pembawa zat terapeutik yang bersifat lokal maupun sistemik. 
Bentuk suppositoria dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dengan nyaman, mudah dimasukkan ke dalam tempat yang diinginkan, dan dapat mengeluarkan zat berkhasiat yang dibawa masuk ke dalam tubuh. Pada saat dimasukkan ke dalam tempat yang diinginkan, suppositoria akan meleleh, melunak, atau melarut menyebarkan zat berkhasiat yang dibawa ke dalam jaringan. Obat ini akan ditahan dalam tempat tersebut untuk efek kerja lokal, atau dapat pula diabsorbsi untuk mendapatkan efek sistemik.

Macam - macam Suppositoria 

Berdasarkan bentuk dan tempat penggunaannya, suppositoria dikelompokkan menjadi : 

1. Rektal suppositoria 

Secara umum sering disebut suppositoria saja. Suppositoria ini berbentuk seperti peluru atau torpedo dan penggunaannya adalah dimasukkan ke dalam anus atau dubur. Bobot suppositoria ini kurang lebih 2 gram. Kelebihan suppositoria berbentuk torpedo ini adalah apabila bagian ujung yang besar masuk ke dalam dubur atau anus, maka suppositoria akan masuk secara cepat dan mudah dengan sendirinya.

2. Vaginal Suppositoria 

Suppositoria ini memiliki nama lain ovula. Suppositoria ini umumnya berbentuk bola lonjong menyerupai telur, lebih pendek, mudah melunak dan meleleh pada suhu tubuh, dapat melarut dan digunakan pada vagina. Bobot ovula adalah kurang lebih 5 gram. 

Suppositoria kempa atau suppositoria sisipan adalah ovula yang berupa massa serbuk dan dibuat dengan cara dikempa, atau dengan cara dimasukkan ke dalam kapsul gelatin lunak sesuai bentuk yang diinginkan. Vaginal suppositoria atau ovula ini memiliki bahan dasar yang dapat larut atau bercampur dengan air seperti PEG, gelatin tergliserinasi (70 bagian gliserin, 20 bagian gelatin, dan 10 bagian air), dan lain-lain. Ovula harus disimpan dalam wadah tertutup rapat dengan suhu dibawah 35oC.

3. Urethral Suppositoria 

Suppositoria ini dikenal juga dengan istilah bacilla, bougies. Penggunaan suppositoria ini adalam melalui uretra atau saluran urin pria/wanita. Suppositoria ini umumnya berbentuk panjang seperti pensil yang berukuran 7-14 cm. Suppositoria untuk saluran urin pria berdiameter 3-6 mm dengan panjang 140 mm dan beratnya adalahh 4 gram. Sedangkan suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya setengah dari ukuran suppositoria pria, yaitu panjan 70 mm dan beratnya 2 gram.

Keuntungan Suppositoria 

Dibandingkan dengan sediaan obat lainnya terutama peroral, suppositoria memiliki beberapa kentungan, antara lain : 
1. Mencegah terjadinya iritasi lambung pada pemakaian obat 
2. Mencegah rusaknya obat akibat kontak dengan asam lambung atau enzym pada saluran pencernaan 
3. Efek obat relatif lebih cepat dibandingkan dengan sediaan peroral karena langsung masuk ke dalam saluran darah 
4. Cocok digunakan untuk pasien yang tidak bisa mengkonsumsi obat peroral akibat mual muntah atau tidak sadar.

Tujuan Penggunaan Suppositoria 

Sediaan obat dalam bentuk suppositoria digunakan untuk tujuan berikut : 
1. Suppositoria dapat digunakan untuk tujuan pengobatan lokal, seperti anti hemoroid, atau penyakit-penyakit infeksi pada area rektal, vaginal, dan urethra 
2. Suppositoria juga dapat digunakan untuk tujuan pengobatan sistemik. Dalam hal ini yang sering digunakan adalah sediaan pada rektal, karena area tersebut memiliki membran mukosa yang dapat mengabsorbsi obat ke dalam saluran darah 
3. Suppositoria dapat digunakan sebagai alternatif pemakaian obat pada pasien yang sukar menelan obat, seperti pasien tidak sadar, pasien mual muntah 
4. Untuk mendapatkan aksi obat yang lebih cepat, karena obat dapat langsung diabsorbsi melalui membran mukosa pada rektal 
5. Suppositoria digunakan untuk menghindari kerusakan obat oleh asam lambung dan enzim pencernaan, serta perubahan metabolisme obat secara biokimia di dalam hati.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Obat Per Rektal

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi absorbsi obat dalam bentuk suppositoria yang digunakan melalui rektal, antara lain : 

1. Faktor fisiologis 

Rektum manusia panjangnya sekitar 15-20 cm. Pada saat kolon dalam keadaan kosong, rektum hanya mengandung 2-3 ml cairan mukosa yang inert. Cairan tersebut memiliki pH kurang lebih 7,2 dan kapasitas daparnya rendah. Struktur epitel pada rektum cenderung berlemak, sehingga lebih permeabel pada obat-obat yang tidak terionisasi atau obat yang mudah larut dalam lemak. 

2. Faktor fisika dan kimia 

Faktor fisika kimia dari obat atau zat aktif seperti kelarutan relatif obat dalam lemak dan air serta ukuran partikel dari obat yang akan diabsorbsi. Sedangkan faktor fisika kimia dari basis suppositoria meliputi kemampuannya melebur, melunak, mencair, atau melarut di dalam tubuh, kemampuannya dalam melepaskan bahan obat dan sifat hidrofilik dan hidrofobiknya.

a. Kelarutan obat 

Obat yang larut dalam lemak akan lebih cepat diabsorbsi pada rektal daripada obat yang larut dalam air 

b. Kadar obat dalam basis 

Semakin tinggi kadar obat, maka absorbsinya juga akan semakin cepat 

c. Ukuran partikel 

Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin mudah partikel tersebut diabsorbsi pada rektal. 

d. Basis suppositoria 

Bahan dasar suppositoria harus dapat segera mencair, melunak atau melarut agar dapat melepaskan zat aktif atau obat yang terkandung di dalamnya dan segera diabsorbsi. Obat yang larut dalam air dan berada dalam basis lemak akan segera dilepaskan ke dalam cairan rektal apabila basis tersebut cepat melebur setelah masuk ke dalam rektum. Obat akan segera diabsorbsi dan aksi kerja awal obat akan segera dihasilkan. Sedangkan pada obat yang larut dalam air dan berada pada basis larut air pula, maka aksi kerja awal obat baru akan dimulai jika basis sudah melunak atau melarut dalam air dan obat dapat berpindah ke cairan rektal.

Bahan Dasar Suppositoria 

Bahan dasar atau basis suppositoria memiliki peran yang sangat penting dalam hal mendukung pelepasan obat yang dikandungnya. Oleh karena itu, sedapat mungkin basis suppositoria harus berbentuk padat pada suhu ruangan tetapi segera melunak, melebur, atau larut dengan mudah di dalam rektal/ suhu tubuh sehingga obat yang terkandung di dalam suppositoria dapat segera dilepaskan dan diabsorbsi oleh rektum. 

Basis suppositoria yang baik harus memiliki sifat berikut : 

1. Berupa massa padat pada suhu kamar sehingga mudah dibentuk dan digunakan, tetapi dapat melunak atau mencair pada suhu rektal dan dapat bercampur dengan cairan tubuh 
2. Bersifat inert, tidak berkhasiat, tidak beracun, dan tidak menyebabkan iritasi 
3. Dapat bercampur dengan obat/zat berkhasiat 
4. Pada penyimpanan bersifat stabil, tidak terjadi perubahan bentuk, konsistensi, warna, bau, dan pemisahan obat 
5. Memiliki kadar air yang cukup 
6. Untuk basis berlemak, bilangan asam, bilangan iodium, dan bilangan penyabunan harus jelas. 

Bahan dasar suppositoria dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis berdasarkan sifat fisiknya, yaitu : 

1. Basis bersifat minyak atau berlemak 

Bahan dasar ini contohnya adalah oleum cacao atau lemak coklat. Basis ini paling banyak dipakai karena sifatnya yang mudah mencair pada suhu tubuh. 
Lemak coklat merupakan lemak yang diperoleh dari biji Theobroma cacao yang telah dipanggang. Warna oleum cacao pada suhu kamar adalah putih kekuningan, sedikit redup, memiliki aroma seperti coklat. 
Struktur kimianya merupakan trigliserida (campuran gliserin dan asam lemak yang berbeda). Oleum cacao meleleh pada suhu antara 34-36oC. Pada suhu dibawah 30oC merupakan massa padat. oleh karena salah satu sifat oleum cacao yang mudah tengik maka suppositoria ini harus disimpan dalam wadah yang kering, sejuk, dan terlindung dari cahaya.

Kandungan trigliserida yang terdapat pada oleum cacao jika terpapar suhu yang terlalu tinggi diatas titik leburnya dapat menunjukkan sifat polimorfisme, yaitu dapat terbentuk dalam berbagai bentuk kristal. Diatas titik leburnya, oleum cacao dapat meleleh seluruhnya menjadi minyak, hal ini menyebabkan oleum cacao kehilangan inti kristalnya dan membentuk kristal metastabil, yaitu bentuk kristal yang memiliki titik lebur dibawah titik lebur asalnya. Titik lebur ini mungkin terlalu rendah sehingga oleum cacao tidak dapat menjadi padat kembali pada suhu ruangan. 

Bentuk - bentuk kristal tersebut adalah :

a. Bentuk kristal α (alfa)
Merupakan kristal yang terjadi karena lelehan oleum cacao didinginkan dengan segera pada suhu 0oC sehingga titik leburnya berubah menjadi 22 - 24oC 

b. Bentuk kristal β (beta)
Merupakan kristal yang terjadi karena lelehan oleum cacao diaduk - aduk pada suhu 18 - 23oC sehingga titik leburnya berubah menjadi 28-31oC  

c. Bentuk kristal β stabil (beta stabil)
Merupakan kristal yang terjadi dari perubahan perlahan-lahan bentuk dan kontraksi volume sehingga titik leburnya berubah menjadi 34 - 35oC  

d. Bentuk kristal γ (gamma)
Merupakan kristal yang terjadi karena pendinginan lelehan oleum cacao yang sudah terlanjur dingin (20oC) sehingga titik leburnya berubah menjadi 18oC 

Untuk menghindari bentuk-bentuk kristal yang tidak stabil tersebut, dapat dilakukan beberapa cara yaitu : 
a. Dalam pembuatan suppositoria, oleum cacao tidak dilelehkan seluruhnya, tetapi hanya 2/3 saja yang dilelehkan dan sisanya tetap dalam keadaan padat 
b. Menambahkan sedikit bentuk kristal stabil ke dalam lelehan oleum cacao untuk mempercepat perubahan bentuk tidak staabil menjadi bentuk stabil 
c. Lelehan oleum cacao dibekukan selama beberapa jam atau hari d. Pemanasan oleum cacao sebaiknya dilakukan hingga cukup meleleh saja dan mudah dituang, sehingga tetap mengandung inti kristal dari bentuk stabil.

Untuk menaikkan titik lebur oleum cacao dapat dilakukan dengan penambahan cera atau cetaceum (spermaseti). Cera flava yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 6% karena akan menghasilkan campuran yang memiliki titik lebur 37oC, dan tidak boleh kurang dari 4% karena akan menghasilkan campuran dengan titik lebur dibawah 33oC. 

Jika bahan obat yang akan dibuat suppositoria merupakan larutan dalam air, perlu diingat bahwa oleum cacao hanya dapat menyerap sedikit air, penambahan cera flava juga dapat meningkatkan daya serap oleum cacao terhadap air. Untuk menurunkan titik lebur oleum cacao yang terlalu tinggi dapat menggunakan kloralhidrat, fenol, atau minyak atsiri dalam jumlah kecil. 

Oleum cacao dapat meleleh pada suhu tubuh dan tidak dapat bercampur dengan cairan tibuh, sehingga dapat menghambat difusi obat yang larut dalam lemak pada tempat yang diobati. Oleum cacao jarang digunakan untuk sediaan ovula pada vagina karena dapat meninggalkan sisa atau residu yang tidak dapat diserap. 

Suppositoria dengan basis oleum cacao dapat dibuat dengan cara mencampurkan bahan obat yang telah dihaluskan ke dalam minyak lemak padat pada suhu kamar kemudian dicetak, atau dibuat dengan cara melebur oleum cacao bersama bahan obat kemudian dibiarkan hingga dingin di dalam cetakan. Suppositoria yang dihasilkan harus disimpan dalam wadah tertutup baik pada suhu dibawah 30oC. 

Dalam pembuatan suppositoria dengan bahan dasar oleum cacao sebaiknya dihindari pemakaian air sebagai pelarut bahan obat, hal ini dikarenakan beberapa sebab yaitu : 
a. Menimbulakn reaksi antara beberapa bahan obat yang terkandung di dalam suppositoria 
b. Menyebabkan oleum cacao cepat berbau tengik 
c. Jika airnya menguap, maka bahan obat tersebut akan mengkristal dan memisah pada suppositoria.

Terdapat beberapa kekurangan oleum cacao sebagai basis suppositoria antara lain : 

a. Dapat meleleh pada udara panas, maka harus berhati-hati terutama pada saat distribusi b. Pada penyimpanan yang lama dapat berubah menjadi tengik, terutama bila suhu atau kondisi penyimpanan tidak sesuai 
c. Memiliki sifat polimorfisme 
d. Titik lebur oleum cacao dapat turun atau naik dengan penambahan zat tertentu 
e. Pada saat pemakaian membutuhkan posisi yang tepat, karena dapat keluar dari rektum akibat langsung mencair pada suhu tubuh 
f. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi 

Oleh karena terdapat beberapa kekurangan oleum cacao diatas, maka beberapa industri farmasi mencari alternatif pengganti oleum cacao sebagai basis suppositoria, antara lain : 
a. Campuran asam oleat dengan asam stearat dengan perbandingan tertentu 
b. Campuran cetil alkohol dengan oleum amygdalarum dengan perbandingan 17:83 
c. Sediaan oleum cacao sintesis, seperti Coa buta, supositol

2. Basis yang larut dalam air atau dapat bercampur dengan air 


Bahan dasar ini contohnya PEG, campuran gelatin - gliserin. 
Basis ini memiliki titik lebur 35-63oC. 
Basis ini tidak meleleh pada suhu tubuh, tetapi dapat larut dalam cairan sekresi tubuh. Oleh karena itu formulasi suppositoria dengan basis ini tidak membutuhkan kondisi khusus terkait suhu pencampuran maupun suhu penyimpanan.

Polietilen glikol (PEG) adalah polimer dari etilen oksida dan air, dibuat menjadi bermacam-macam panjang rantainya. Senyawa ini tersedia dalam beberapa berat molekul yang berbeda, yang paling banyak dijumpai atau tersedia adalah PEG 200. 400, 600, 1000, 1500, 3350, 4000, dan 6000. 

Pemberian nomor menunjukkan berat molekul rata-rata dari masing-masing polimernya. PEG yang memiliki berat molekul 200, 400, 600 merupakan cairan bening tidak berwarna, sedangkan yang memiliki berat molekul diatas 1000 berupa lilin putih, padat lunak, kepadatannya bertambah dengan bertambahnya berat molekul. 
Beberapa jenis PEG lebih dari satu berat molekul dapat digabung dengan cara melebur untuk memperoleh basis suppositoria yang diinginkan. 

Formula yang sering dipakai adalah campuran PEG 4000 dan PEG 1000 dengan perbandingan 25:75 (bahan dasar tidak berair), campuran PEG 1540, PEG 6000, dan larutan obat dengan perbandingan 30:50:20 (bahan dasar berair). 

PEG sangat cocok untuk obat antiseptik lokal. Bila diharapkan bekerja secara sistemik, maka lebih baik menggunakan bentuk ionik daripada non ionik agar memperoleh bioavaibilitas (ketersediaan hayati) yang optimal. 
Meskipun bentuk non ionik dapat dilepaskan dari basis yang dapat bercampur dengan air seperti gelatin tergliserinasi atau PEG, tetapi relatif sangat lambat larut sehingga dapat menghambat pelepasan obat. 

Keuntungan suppositoria dengan basis PEG adalah sebagai berikut : 
a. Tidak ada aturan mengenai titik leburnya, karena sifatnya yang dipakai adalah dapat larut dalam cairan sekresi 
b. Tidang mengiritasi atau merangsang rektum 
c. Dapat dismpan diluar lemari es 
d. Dapat tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh 
e. Tidak mudah bocor atau meleleh keluar dari rektum seperti oleum cacao

Apabila suppositoria dengan PEG tidak mengandung 20% air untuk mencegah rangsangan membran mukosa, maka suppositoria tersebut harus dicelupkan ke dalam air terlebih dahulu sebelum digunakan untuk mencegah ditariknya cairan dari jaringan tubuh saat dipakai dan terjadi rasa menyengat. 

Pada etiket suppositoria basis ini harus tertulis ” Basahi dengan air sebelum digunakan”. Suppositoria dengan bahan dasar gelatin-gliserin sangat cocok digunakan dalam pembuatan suppositoria vagina karena memang diharapkan efek yang panjang pada tempat aksi obat. 

Basis gelatin gliserin lebih lambat melunak dan bercampur dengan cairan tubuh daripada oleum cacao, oleh karena itu waktu pelepasan bahan obat relatif lama. Gelatin gliserin bersifat higroskopis, yaitu menyerap uap air yang ada di sekitarnya, oleh karena itu basis ini harus dilindungi dari udara lembab agar terjaga bentuk dan konsistensi suppositorianya. Suppositoria dengan basis ini juga perlu dibasahi dengan air sebelum pemakaiannya untuk menghindari ditariknya cairan dari jaringan tubuh saat dipakai, sama halnya dengan basis PEG. 

Suppositoria dengan basis gelatin-gliserin sebaiknya ditambahkan bahan pengawet seperti nipagin karena bahan dasar ini merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Suppositoria saluran urin (urethra) juga dibuat dengan basis gelatin gliserin dengan formula gelatin, gliserin, dan larutan obat (obat dan air) dengan perbandingan 60:20:20. Suppositoria saluran urin dengan basis ini lebih mudah dimasukkan daripada basis oleum cacao, karena kerapuhan oleum cacao dan cepatnya melunak pada suhu tubuh.

3. Basis dasar lain 


Bahan dasar ini merupakan kombinasi dari bahan emulgator atau hidrofiliklipofilik. 
Contohnya adalah campuran tween 61 dan gliserin laurat dengan perbandingan 85:15. 
Bahan dasar ini merupakan pembentuk emulsi w/o. 
Bahan dasar ini dapat menahan air atau larutan berair. Berat suppositoria dengan bahan dasar ini 2,5 gram

MATERI SEDIAAN LARUTAN (BAGIAN 02)

Prosedur pembuatan Sediaan Larutan 

Pada umumnya larutan dapat terbentuk dengan melarutkan zat terlarut dengan pelarut yang sesuai menggunakan wadah yang cocok seperti erlenmeyer atau mortir dan stamper.    
     
Beberapa metode ini dapat dilakukan untuk mempercepat proses kelarutan suatu zat, yaitu :

 1. Memperkecil ukuran partikel zat terlarut (solute). 

Ukuran partikel sifatnya berbanding terbalik dengan luas permukaan. Dengan demikian, semakin kecil ukuran partikel, maka semakin besar luas permukaan zat tersebut yang akan mengakibatkan zat tersebut semakin cepat larut dalam solvent. 

2. Menaikkan temperatur. 

Kelarutan berbanding lurus dengan temperatur, jika ingin meningkatkan kelarutan suatu zat, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menaikkan suhunya. 

3. Menaikkan kecepatan pengadukan. 

Apabila kecepatan pengadukan ditingkatkan, maka proses melarutnya suatu zat akan lebih cepat. 
    
    Beberapa bahan obat membutuhkan cara yang khusus dalam melarutkannya, antara lain sebagai berikut :

1. Natrium bikarbonat 

Teknik melarutkan natrium bikarbonat adalah dengan cara gerus tuang, yaitu natrium bikarbonat dimasukkan ke dalam mortir dan ditambah air, gerus menggunakan stamper kemudian larutan yang terbentuk dipisahkan atau dituang ke wadah lain. Sisa natrium bikarbonat yang belum larut di dalam mortir ditambahkan air lagi kemudian digerus kembali, larutan yang terbentuk dipisahkan. Begitu seterusnya hingga seluruh natrium bikarbonat terlarut seluruhnya dan tidak ada sisa. 

2. Kalium permanganat 

Kalium permanganat (KMnO4) dilarutkan dengan pemanasan. Namun hati - hati pada proses pemanasan ini biasanya terbentuk senyawa MnO2 yang bentuknya padat berwarna coklat-hitam dan tidak larut dalam air, oleh sebab itu maka sebelum dituangkan ke dalam botol sebaiknya disaring terlebih dahulu menggunakan glasswool. 

3. Sublimat 

Teknik melarutkan sublimat (HgCl2) adalah dengan pemanasan atau dikocok bersama air panas, kemudian disaring sebelum dimasukkan ke dalam botol. Untuk menaikkan kelarutan sublimat dapat ditambahkan senyawa NaCl, tetapi penambahan ini menyebabkan daya bakterisida dari sublimat akan menurun. 

4. Zink klorida 

Dalam melarutkan senyawa zink klorida (ZnCl2) harus dengan menambahkan air sekaligus, diaduk cepat dan segera disaring. 
Apabila air yang ditambahkan sedikit demi sedikit atau waktu pengadukan berlangsung lama, maka akan terbentuk zink oksida klorida (ZnOCl) yang sukar larut dalam air. Jika terdapat asam salisilat, larutkan zink klorida dengan sebagian air, kemudian tambahkan segera asam salisilat dan sisa air, baru kemudian disaring. 

5. Kamfer 

Kamfer (Camphora) larut dalam 650 bagian air. Oleh karena itu pelarut yang digunakan utk melarutkan kamfer biasanya adalah alkohol atau senyawa non polar lain. Jika dikehendaki senyawa kamfer dalam air maka kamfer dilarutkan terlebih dahulu dengan etanol 95% atau spiritus fortior sebanyak 2 kali berat kamfer di dalam botol kering dan dikocok hingga larut. Kemudian ditambahkan air panas sekaligus dan dikocok lagi hingga homogen. 

6. Tanin 

Senyawa tanin memiliki sifat mudah larut dalam air dan gliserin. Tanin mengandung hasil oksidasi yang larut dalam air tetapi tidak larut dalam gliserin, sehingga larutannya dalam gliserin harus disaring terlebih dahulu menggunakan kapas basah sebelum dimasukkan ke dalam botol. Jika terdapat air dan gliserin, maka tanin dilarutkan terlebih dahulu dengan air, dikocok kemudian baru ditambahkan gliserin. 

7. Fenol 

Fenol liquifactum atau fenol liquidum merupakan larutan yang terdiri dari 20 bagian air dalam 100 bagian fenol. Oleh karena itu, jika ingin memperoleh fenol maka diambil fenol liquidum sebanyak 1,2 kali jumlah yang diminta. Fenol larut dalam air. Jika fenol dilarutkan dengan air yang cukup maka akan diperoleh larutan yang jernih, sebaliknya jika fenol dilarutkan dengan air yang sedikit maka akan terbentuk larutan yang keruh. 

8. Succus liquiritae 

Succus liquiritae larut dalam air panas. Dalam jumlah sedikit, succus liquiritae dapat dilarutkan dengan cara gerus tuang. Dalam jumlah banyak, succus liquiritae dilarutkan dengan cara dipanaskan hingga larut. 

9. Codein 

Codein sukar larut dalam air. Jika ingin diperoleh larutan codein dalam air maka dapat dilakukan hal berikut : 
a. Codein dipanaskan dengan air sejumlah 20 kali berat codein hingga larut 
b. Codein dilarutkan dengan etanol 95% atau spiritus fortior hingga larut, kemudian diencerkan dengan air. 
c. Codein diganti dengan bentuk garamnya yang sifatnya larut dalam air yaitu Codein HCl dengan memperhitungkan bobot molekulnya.

                BM Codein HCl     atau 1,17  x  Jumlah codein
                    BM Codein

10. Bahan obat berkhasiat keras 

Bahan-bahan tersebut dilarutkan masing-masing atau sendiri-sendiri dan dipastikan sudah larut sempurna dan homogen serta dosisnya terjamin merata sebelum dicampurkan dengan bahan lainnya. 

11. Bahan-bahan asam basa 

Bahan golongan asam contohnya asam tartrat, asam sitrat, dan lainlain. Bahan golongan basa contohnya natrium bikarbonat. Bahan-bahan asam basa ini dimaksudkan untuk pembuatan potio netralisasi, saturasi, atau potio effervescent. 

a. Netralisasi 

Larutan yang dibuat dengan mencampurkan bagian asam dan bagian basa hingga reaksi selesai dan larutan bersifat netral 

Silahkan tonton video pembuatan potio Netralisasi di link ini :

b. Saturasi 

Sediaan cair yang dibuat dengan mereaksikan asam dan basa tetapi gas  yang terbentuk ditahan sebagian sehingga larutan jenuh dengan CO2. 

Teknik pembuatannya adalah sebagai berikut : 
1) Bagian basa dilarutkan dalam 2/3 bagian air 
2) Bagian asam dilarutkan dalam 1/3 bagian air sisanya 
3) Sebanyak 2/3 larutan asam dimasukkan ke dalam larutan basa dan gas yang terbentuk dibuang / dikeluarkan seluruhnya 
4) Sisanya 1/3 larutan asam dituang secara hati-hati melalui tepi botol dan segera ditutup sehingga gas tertahan. 

Silahkan tonton video pembuatan potio saturasi di link ini :

c. Potio Effervescent 

Effervescent merupakan saturasi yang gas CO2 nya lewat jenuh. 

Teknik pembuatannya adalah sebagai berikut : 
1) Bagian basa dilarutkan dalam 2/3 bagian air 
2) Bagian asam dilarutkan dalam 1/3 bagian air sisanya 
3) Seluruh larutan asam dimasukkan ke dalam larutan basa, dituang dengan hati-hati melalui tepi botol, dan segera ditutup sehingga gas tertahan seluruhnya. 

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan potio effervecent adalah sebagai berikut : 
1) Wadah dan bahan 
a) Wadah yang digunakan adalah botol tertutup kedap dan kuat 
b) Larutan hanya terisi 9/10 bagian dari volume botol 
c) Bahan obat harus larut, karena sediaan ini tidak boleh dikocok 

2) Penambahan bahan 
Zat yang dilarutkan dalam bagian asam yaitu : 
a) Zat netral dalam jumlah kecil
Jika zat yang akan dilarutkan dalam jumlah banyak, maka zat tersebut harus dibagi ke bagian asam dan bagian basa sesuai perbandingan jumlah airnya 
b) Minyak atsiri atau bahan yang mudah menguap 
c) Ekstrak dan alkaloid dalam jumlah kecil 
d) Sirup 

Zat yang dilarutkan dalam bagian basa yaitu : 
a) Garam dari asam yang sukar larut, contohnya natrium benzoat, natriun salisilat 
b) Asam tartrat, garam kalium dan amonium harus ditambahkan kedalam bagian basa agar tidak terbentuk endapan.

Silahkan tonton video pembuatan potio effervescent di link ini :


MATERI SEDIAAN LARUTAN (BAGIAN 01)

SEDIAAN OBAT CAIR

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, solutio atau larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang terlarut. Komponen di dalam suatu larutan antara lain zat terlarut (solute), dan zat pelarut (solvent). 


        Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah larutan, seperti larutan gula. Maka dapat diartikan sebagai zat terlarut (solute) adalah gula, dan sebagai pelarut (solvent) adalah air / aqua.
 


Menurut Farmakope Indonesia Edisi V, larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia terlarut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang sesuai. 

Pelarut yang umum digunakan dalam sediaan obat adalah aquadest, akan tetapi karena beragamnya sifat fisika dan kimia zat terlarut, maka pelarut yang digunakan sebagai alternatif lain adalah etanol, gliserin, propilen glikol, minyak, paraffin liquidum, dan lain-lain. 

Penggunaan sediaan obat dalam bentuk larutan memiliki beberapa keuntungan, yaitu : 
1. Merupakan bentuk sediaan yang lebih disukai oleh anak-anak 
2. Menjamin adanya keseragaman dosis dalam pemberian 
3. Cocok diberikan kepada pasien yang sukar menelan obat dalam bentuk padat 
4. Lebih cepat terabsorpsi di dalam tubuh jika dibandingkan dengan sediaan tablet atau kapsul 

Tipe larutan berdasarkan jumlah zat terlarutnya dapat dibedakan sebagai berikut : 
1. Larutan encer, yaitu larutan yang mengandung sejumlah kecil zat A yang terlarut. 
2. Larutan, yaitu larutan yang mengandung sejumlah besar zat A yang terlarut. 
3. Larutan jenuh, yaitu larutan yang mengandung jumlah maksimum zat A yang dapat larut dalam air pada tekanan dan temperatur tertentu. 
4. Larutan lewat jenuh, yaitu larutan yang mengandung jumlah zat A yang terlarut melebihi batas kelarutannya di dalam air pada temperatur tertentu.

Macam - Macam Sediaan Larutan Obat 

Menurut cara pemakaiannya, sediaan larutan dapat dibedakan menjadi : 

1. Larutan oral 

Larutan oral adalah sediaan cair yang ditujukan untuk pemberian oral (masuk ke dalam saluran cerna), mengandung satu atau lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis atau pewarna yang larut dalam air atau campuran air dan pelarut lainnya. 

Potio (obat minum) 

Potio adalah larutan yang penggunaannya dengan cara diminum. Potio ini dapat berbentuk larutan jernih, emulsi ataupun suspensi. 

Berdasarkan reaksi asam dan basa, 
Potio dapat dibedakan menjadi : 
1) Netralisasi, 
Merupakan solutio yang diperoleh dengan cara mencampurkan bagian asam dan basa hingga bereaksi sempurna dan selesai, sehingga bersifat netral
2) Saturasi
Merupakan solutio yang diperoleh dengan cara mencampurkan bagian asam dan basa, tetapi gas CO2 yang terbentuk ditahan sebagian, sehingga larutan tersebut menjadi jenuh dengan gas CO2. 
3) Effervescent
Merupakan solutio yang diperoleh dengan cara mencampurkan larutan asam dan larutan basa, tetapi gas CO2 yang terbentuk ditahan seluruhnya, sehingga larutan tersebut mengandung CO2 yang lewat jenuh. 

Dalam hal ini basa yang digunakan adalah NaHCO3, dan asam yang digunakan adalah asam lemah, contohnya asam sitrat. 
Konsep potio dengan meraksikan Natrium bicarbonat dengan asam lemah adalah agar menghasilkan CO2 yang berperan dalam stabilitas obat dan memberikan nuansa segar pada minuman seperti minuman berkarbonasi yang beredar di masyarakat. 

Dalam pembuatan sediaan potio saturasi maupun effervescent, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu : 

1) Larutan dikemas dalam botol khusus yang kuat dan memiliki tutup yang rapat, jika perlu tutupnya diberi ikatan atau pengait khusus seperti sampagne knop. 
2) Tidak boleh dikocok, karena akan mengeluarkan gas di dalam botol. Hal ini akan mengakibatkan botol sediaan akan pecah karena tekanan yang sangat tinggi. 
3) Tidak boleh mengandung bahan atau zat yang tidak larut
Elixir 

Elixir merupakan larutan yang mengandung bahan obat sebagai solute dan campuran air-etanol sebagai solvent, sehingga memiliki sensasi bau dan rasa yang sedap dan segar. Dalam hal ini, etanol juga dapat berfungsi untuk menaikkan kelarutan obat. Selain etanol, dapat pula ditambahkan zat lain yaitu gliserol, sorbitol atau propilenglikol.  



Sirup 

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, sirup adalah lautan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain yang memilikikadar yang tinggi. 

Berdasarkan kandungannya, sirup dapat dibagi menjadi : 
1) sirup simplex, merupakan sirup yang mengandung 65% gula dalam larutan nipagin 0,25 % b/v 
2) sirup obat, merupakan sirup yang mengandung satu atau lebih jenis obat dengan atau tanpa zat tambahan yang ditujukan untuk tujuan pengobatan 
3) sirup pewangi, merupakan sirup yang tidak mengandung bahan obat tetapi mengandung zat pewangi atau penyedap lain. Penambahan sirup pewangi pada suatu sediaan bertujuan untuk menutup rasa atau bau obat yang kurang menyenangkan.

Guttae (drop) 
Guttae atau sediaan tetes yang dimaksud jika tidak dinyatakan lain merupakan obat yang pemakaiannya per oral (masuk kedalam saluran cerna) dengan cara diteteskan. Obat ini dapat digunakan dengan alat bantu berupa pipet tetes untuk langsung digunakan pada mulut maupun dicampur dengan makanan dan minuman. 
         Sediaan ini biasanya digunakan untuk bayi yang belum bisa menelan cairan sendiri dalam jumlah banyak. Disamping itu, sediaan ini sangat cocok untuk bayi karena ketepatan dosis yang lebih akurat karena menggunakan alat pipet tetes yang memiliki skala ukur tertentu.


2. Larutan Topikal 

Larutan topikal merupakan solutio yang digunakan diluar saluran cerna, biasanya pemakaiannya pada kulit atau bagian mukosa lainnya. Berbeda dengan larutan oral, larutan topikal ini tidak membutuhkan zat tambahan yang begitu banyak atau tidak membutuhkan corigen. 

 Collyrium 

Menurut Formularium Nasional, Collyrium adalah sediaan larutan steril, jernih, bebas zarah asing, isotonus, ditugunakan untuk membersihkan mata. Oleh karena itu sediaan ini disebut juga dengan obat cuci mata. Untuk mendukung fungsinya dalam membersihkan mata, sediaan ini dapat ditambahkan zat dapar untuk mempertahankan pH dan zat pengawet untuk menjaga larutan agar tetap steril. 
        Kejernihan dan sterilitas sediaan ini memenuhi syarat sediaan injeksi yang tertera pada Farmakope Indonesia. Penyimpanan sediaan ini sebaiknya dalam wadah yang terbuat dari kaca atau plastik tertutup kedap. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada sediaan collyrium ini antara lain :

1) Pada etiket bagian luar harus tertera masa penggunaan setelah tutup dibuka, dan pada bagian luar produk harus tertulis “Obat cuci mata” agar tidak terjadi kesalahan dalam pemakaian obat 

2) Larutan cuci mata yang tidak mengandung bahan pengawet hanya dapat bertahan selama 24 jam setelah botol dibuka, sedangkan sediaan yang mengandung bahan pengawet hanya dapat bertahan paling lama selama 7 hari. Hal ini dimaksudkan agar sterilitas dan kejernihan sediaan tetap terjaga.



Guttae ophtalmicae 

Guttae ophtalmicae atau disebut juga dengan obat tetes mata adalah sediaan berupa larutan steril atau suspensi steril yang digunakan dengan cara meneteskan pada bagian selaput lendir mata. Secara umum persyaratan obat tetes mata dan obat cuci mata hampir sama, karena penggunaannya pada mata yang sangat sensitif. 
        Akan tetapi karena sediaan obat tetes mata penggunaannya dalam volume kecil pada mata, maka obat tetes mata diperbolehkan mengandung sedikit serbuk termikronisasi yang terdispersi sangat halus dalam cairan pembawanya agar tidak menyebabkan iritasi atau goresan pada kornea. 

Komposisi sediaan obat tetes mata antara lain adalah :

1) Zat aktif / bahan obat, yaitu zat berkhasiat yang terkandung di dalam sediaan obat.
 
2) Zat pengisotonis, yaitu zat yang ditambahakan agar larutan obat tetes mata memiliki tekanan osmosis yang sama dengan cairan mata. Tekanan osmosis cairan mata menurut Farmakope Edisi IV adalah setara dengan NaCl 0,9% b/v. Pada kenyataannya mata manusia masih dapat tahan terhadap nilai isotonis rendah hingga 0,6% b/v dan tertinggi hingga setara dengan larutan NaCl 2,0% b/v. 

3) Zat dapar, yaitu zat atau larutan yang dapat mempertahankan pH sehingga larutan obat tetes mata dapat memiliki pH yang sama atau mendekati pH cairan mata (sekitar 7,4). 

4) Zat pengawet, yaitu zat atau larutan yang ditambahkan dengan tujuan untuk mematikan atau mencegah pertumbuhan mikroba yang dapat masuk pada saat tutup kemasan dibuka. Contoh zat pengawet yang sering digunakan pada sediaan tetes mata adalah Benzalkonium klorida. 

5) Zat pengental, yaitu zat atau larutan yang dapat menaikkan viskositas (kekentalan) cairan, sehingga dapat memperpanjang kontak antara larutan obat tetes mata dengan selaput mata. Bahan yang sering digunakan sebagai pengental adalah metil selulosa.

Gargarisma 

Gargarisma atau obat kumur adalah sediaan berupa larutan yang digunakan untuk pencegahan atau pengobatan infeksi tenggorokan. 
Tujuan utama penggunaan obat kumur adalah dimaksudkan agar obat yang terkandung di dalamnya dapat langsung terkena selaput lendir sepanjang tenggorokan dan tidak dimaksudkan agar obat itu menjadi pelindung  selaput lendir. 

 Pada sediaan gargarisma atau obat kumur, perlu diperhatikan halhal berikut : 
1) Jika merupakan larutan pekat, maka harus ada petunjuk cara pengenceran yang tepat 
2) Harus ada penandaan “Hanya untuk kumur, tidak untuk ditelan”





Litus Oris 

Litus oris adalah cairan kental yang pemakaiannya ditujukan dengan cara mengoleskan pada bibir. Contoh obat yang dapat digunakan sebagai oles bibir adalah Borax Glycerin 10%, larutan Gentian Violet.


Guttae nasales 

Guttae nasales adalah cairan yang digunakan dengan cara meneteskan ke dalam rongga hidung. Pada sediaan ini dapat ditambahkan bahan pensuspensi, zat dapar, pengisotonis, dan zat pengawet

Guttae auriculares 

Guttae auriculares adalah cairan yang digunakan dengan meneteskan atau memasukkan obat ke dalam rongga telinga. Larutan ini sedapat mungkin tidak menggunakan zat pembawa atau pelarut air, biasanya yang dipakai adalah gliserol, propilenglikol, dan minyak nabati. 
Hal ini dimaksudkan agar konsistensi tetes telinga lebih kental, sehingga dapat memperpanjang kontak obat dengan rongga telinga.


Inhalasi 

Inhalasi adalah sediaan berupa serbuk obat, larutan, atau suspensi yang cara pemakaiannya disedot melalui saluran nafas hidung atau mulut, atau disemprotkan dalam bentuk kabut ke dalam saluran pernafasan. Sediaan inhalasi dapat diberikan untuk efek lokal maupun sistemik. Inhalasi yang berisi cairan atau larutan disebut juga dengan aerosol atau inhalasi dosis terukur.


Injeksi 

Injeksi merupakan sediaan yang bersifat steril berupa larutan, emulsi, suspensi yang cara pemakaiannya adalah dengan cara disuntikkan atau merusak jaringan sehingga dapat masuk ke dalam kulit atau selaput lendir.

Lavement 

Lavement atau clysma atau disebut juga dengan enema adalah cairan yang pemakaiannya melalui rektal (anus). Sediaan ini dapat berupa larutan maupun semipadat atau gel. Sediaan enema memiliki tujuan penggunaan sebagai berikut : 1) Membersihkan rektum dari kotoran atau feaces sebelum dilakukan operasi 2) Sebagai obat , misalnya adstringen, karminativa, sedatif, emolien, dan anthelmintika 3) Untuk membantu penegakan diagnosa penyakit 


Douche 

Douche adalah larutan yang digunakan untuk pengobatan atau untuk membersihkan vagina. Sediaan ini sering dikenal dengan istilah vaginal douche, dan mengandung zat antiseptik. Contoh sediaan yang beredar di pasaran adalah Betadine Vaginal Douche yang mengandung Povidon Iodida 10%.

Epithema / Obat Kompres

Epithema adalah larutan yang digunakan pada kulit yang sakit atau panas karena radang dan dapat menimbulkan efek dingin atau sejuk. Epithema sering disebut juga dengan obat kompres. Dalam hal lain dapat juga sebagai antiseptik dan mengeringkan nanah. Contoh obat kompres adalah liquor Burowi, Solutio Rivanol 0,1%.




Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Kelarutan 

1. Sifat Solute dan Solvent 

Solute (zat terlarut) yang bersifat polar akan larut dalam solvent (pelarut) yang polar, begitu juga sebaliknya solute yang bersifat non polar akan larut dalam solvent yang non polar pula. Peristiwa ini disebut juga dengan istilah like-disolve-like. Contohnya garam yang dapat larut dalam air, sedangkan kamfer larut dalam eter. 

2. Cosolvensi 

Cosolvensi adalah teknik modifikasi pelarut atau kombinasi pelarut yang dapat menaikkan kelarutan suatu zat terlarut (solute). Contohnya senyawa obat phenobarbital tidak larut dalam air, tetapi larut dalam campuran air-gliserin-etanol (solutio petit). 

3. Derajat Kelarutan

 Larut atau tidaknya solute terhadap solvent tergantung tingkat atau derajat kelarutan dari solute tersebut. Bahan yang derajatnya “larut” membutuhkan solvent yang lebih sedikit dibandingkan dengan bahan yang derajatnya “sukar larut” untuk dapat melarutkan suatu solute dengan sempurna. 

Istilah kelarutan dinyatakan dalam 1 bagian zat terlarut (solute) dalam sejumlah bagian volume tertentu pelarut (solvent). 

4. Temperatur 

Sebagian besar zat terlarut akan bertambah kelarutannya pada temperatur tinggi. Dengan kata lain maka kelarutan berbanding lurus dengan temperatur, jika ingin meningkatkan kelarutan suatu zat, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menaikkan suhunya. 

5. Salting in 

Salting in adalah peristiwa meningkatnya kelarutan suatu zat utama di dalam solvent yang disebabkan oleh penambahan zat lain yang memiliki derajat kelarutan lebih besar. Contohnya adalah Riboflavin (vitamin B2) tidak larut dalam air, akan tetapi jika ditambahkan nikotinamida maka riboflavin tersebut dapat larut dalam air. 

6. Salting out 

Salting out adalah peristiwa kelarutan suatu zat utama menjadi turun di dalam solvent yang disebabkan oleh penambahan zat lain yang memiliki derajat kelarutan lebih besar. Contohnya adalah kelarutan minyak atsiri akan menurun di dalam air jika ditambahkan NaCl jenuh pada air tersebut. 

7. Pembentukan Garam kompleks 

Pembentukan kompleks merupakan peristiwa terjadinya interaksi antara zat utama dan zat tertentu sehingga membentuk senyawa yang lebih kompleks dan dapat mengakibatkan perubahan sifat kelarutannya. Contohnya adalah senyawa Iodium (I2) tidak larut dalam air, tetapi jika kita mereaksikan iodium dengan Kalium Iodida (KI), maka akan terbentuk senyawa kompleks Kalium Triiodida (KI3) yang larut dalam air.
 I 2 + KI KI3

MATERI "SEDIAAN PIL"

PENDAHULUAN

Pil adalah sediaan yang berupa massa bulat atau bundar seperti bola dan mengandung satu atau lebih bahan obat. Bobot pil berkisar antara 20 mg hingga 500 mg. Pil berasal dari kata pila yang merupakan bahasa latin, artinya adalah bola.

Jenis - Jenis Pil


1. Boli, merupakan pil yang berukuran besar dan memiliki bobot lebih dari 500 mg. Secara umum cara pembuatannya sama dengan pil lainnya. Karena ukurannya yang besar, maka pil ini biasanya tidak dikonsumsi oleh manusia, tetapi untuk pengobatan hewan seperti sapi, kuda, dan hewan ternak lainnya. 
2. Pil, merupakan jenis sediaan yang lazim digunakan dan beredar di masyarakat. Bobot pil ini adalah antara 100 mg hingga 500 mg. 
3. Granul, merupakan pil yang berukuran kecil dan memiliki bobot dibawah 100 mg. Jika tidak dinyatakan lain, granul mengandung zat berkhasiat utama sebesar 1 mg.

Komponen Pil 


Secara umum kandungan atau komponen pil adalah sebagai berikut : 

1. Zat utama / berkhasiat 

Zat utama merupakan bahan obat berkhasiat yang berasal dari alam ataupun sintesis bahan kimia. Contoh bahan obat yang dapat dibuat sediaan pil adalah ichtyol, ekstrak belladone, digitalis, argenti nitras, dan lain-lain. 

2. Zat pengisi 

Zat pengisi merupakan bahan yang dapat ditambahkan untuk menambah volume pil agar dapat mempermudah dalam proses pembuatannya. Contoh bahan pengisi yang biasa digunakan adalah bolus alba. 

3. Zat pengikat 

Zat pengikat merupakan bahan yang dapat ditambahkan agar massa saling melekat. Contoh bahan pengikat yang dapat digunakan adalah gom arab, tragakan, akar manis, dan lain-lain. 

4. Zat penabur 

Zat penabur merupakan bahan yang dapat ditambahkan agar massa pil yang
sudah terbentuk tidak dapat saling melekat satu sama lain. Contoh bahan penabur yang dapat digunakan adalah talk, lycopodium, dan lain-lain. 

5. Zat penyalut 

Zat penyalut merupakan bahan yang dapat diberikan setelah sediaan pil sudah terbentuk. Fungsi dari bahan ini adalah untuk menutup rasa, bau, warna yang kurang sesuai. Bahan penyalut juga dapat melindungi pil dari pengaruh oksidasi dari udara luar, atau dapat juga sebagai pengatur tempatnya hancur pil di dalam lambung-usus (enteric coated). Contoh bahan penyalut yang dapat digunakan adalah perak, balsam tolu, keratin, kolodium, gelatin, gula, dan lain-lain. 

6. Zat pembasah 

Zat pembasah merupakan bahan yang berfungsi untuk membasahi massa pil agar mudah dibentuk. Contoh zat pembasah adalah air, gliserol, madu, campuran air dan gliserin sama banyak (aqua gliserinata), dan lain-lain.

Prosedur Pembuatan Sediaan Pil 


1. Pembuatan pil secara umum 

Pada umumnya pembuatan pil dilakukan dengan cara mencampurkan bahanbahan obat padat hingga homogen, lalu ditambah zat tambahan lain seperti zat pembasah hingga diperoleh massa pil yang baik, kemudian ditambah zat pelicin agar massa pil tidak melekat pada alat pembuat pil. 
Langkah selanjutnya adalah massa pil tersebut dibuat bentuk batang dan dipotong menggunakan alat pemotong pil sesuai jumlah yang diminta, kemudian massa pil dibuat bentuk seperti bola (membulat) menggunakan alat pembuat pil. 

Hal yang harus diperhatikan dalam 

pembuatan pil


a. Bobot pil untuk dikonsumsi adalah antara 100mg – 150mg, rata-rata 120mg 
b. Zat pengisi yang lazim digunakan adalah radix liquiritiae. Jika bahan berkhasiat berupa okdidator atau dapat bereaksi dengan radix liq, maka sebagai bahan pengisi dapat digunakan bolus alba. Jumlah zat pengisi yang digunakan adalah sebesar dua kali jumlah zat pengikatnya. Dikenal juga istilah PPP (Pulvis Pro Pilulae), merupakan campuran succus liquiritiae dan radix liquiritiae sama banyak. 
c. Zat pengikat yang digunakan adalah succus liquiritiae sebanyak 2 gram untuk membuat 60 pil. Jika bahan berkhasiat berupa oksidator atau dapat bereaksi dengan succus liq, maka sebagai zat pengisi dapat digunakan adeps lanae atau vaselin album sebanyak 1/6 kali berat pil. 
d. Pada saat pembuatan massa pil, harus ditambahkan zat pembasah kedalam campuran obat, radix liq dan succus liq agar pada saat pengepalan diperoleh massa homogen yang cukup baik. Zat pembasah yang lazim digunakan adalah aqua gliserinata, caitu campuran air dan gliserin sama banyak. Pemberian aqua gliserinata dapat mencegah agar konsistensi pil tidak terlalu keras pada penyimpanan, namun pemberian zat pembasah juga tidak boleh terlalu banyak karena dapat menyebabkan pil yang terbentuk menjadi lembek. 
e. Agar massa pil tidak melekat pada alat pembuat pil, dapat ditaburkan talk atau lycopodium secara merata.

2. Pembuatan pil dengan bahan khusus 

Beberapa senyawa dapat bereaksi dengan bahan tambahan dalam proses pembuatan pil. Oleh karena itu, agar pil yang diperoleh dapat bermutu baik harus memperhatikan hal berikut, antara lain : 
a. Pil yang mengandung senyawa oksidator seperti KMnO4, KNO3, FeCl3, AgNO3, garam timbal (Pb), sebagai zat pengisi digunakan bolus alba. Zat pengikat dan zat pembasah yang digunakan adalah adeps lanae dan vaselin album. Proses pencetakan pil menggunakan alat khusus, yaitu pillen plank ebonit, yaitu alat papan pemanjang dan pemotong pil berbahan ebonit. 
b. Pil yang mengandung ekstrak gentian (bereaksi asam) apabila bertemu dengan ferrum reductum, ferrum pulveratum, natrium karbonat, natrium bikarbonat akan melepaskan gas H2. Gas ini dapat menyebabkan pil menggelembung dan pecah. Hal ini dapat diatasi dengan dengan penambahan MgO untuk menetralkan sifat asamnya sebanyak 100mg tiap 3 gram ekstrak gentian. 
c. Pil yang mengandung garam ferro harus dilapisi dengan balsem tolu untuk mencegah oksidasi oleh udara. 
d. Pil dengan liquor fowleri tidak boleh diganti dengan As2O3 yang telah diperhitungkan. e. Pil yang mengandung sari-sari cair dalam jumlah kecil dapat digunakan PPP sebagai bahan pengisi dan pengikatnya. Sari cair dapat menggantikan fungsi aqua gliserinata sebagai zat pembasah. Dalam jumlah besar, sari cair diuapkan dan ditambah radix liq secukupnya atau diganti dengan sisa keringnya/.

Persyaratan Pil 


Persyaratan sediaan pil yang tercantum pada Farmakope Indonesia edisi III adalah sebagai berikut : 

1. Waktu hancur 

Sediaan pil juga harus memenuhi syarat waktu hancur seperti sediaan tablet. Uji ini dilakukan dengan bantuan alat disintegration tester. Pil bersalut enterik yang akan diuji waktu hancurnya direndam terlebih dahulu dalam larutan HCl 0,06 N selama 3 jam, lalu dipindahkan dalam larutan dapar pH 6,8 dengan suhu 36-38o C. Syarat untuk pil tidak bersalut harus dapat hancur dalam waktu 15 menit, sedangkan untuk pil bersalut dalam waktu 60 menit.

2. Keseragaman bobot 

Uji ini dilakukan dengan cara menimbang satu persatu sebanyak 20 pil dan menghitung rata-ratanya. Kemudian menganalisis penyimpangan terhadap bobot rata-rata tersebut. Penyimpangan terbesar yang diperbolehkan adalah sebagai berikut :
 
Bobot rata  - rata : 100 mg - 250 mg
penyimpangan terbesar terhadap, bobot rata - rata yang diperbolehkan (%) untuk 18 pil = 10 % dan untuk 2 pil = 20%

Bobot rata  - rata : 251 mg - 500 mg
penyimpangan terbesar terhadap, bobot rata - rata yang diperbolehkan (%) untuk 18 pil = 7,5 % dan untuk 2 pil = 15%

3. Kondisi penyimpanan 

Bentuk pil harus tetap sama dan stabil pada penyimpanan, tidak boleh hancur ataupun semakin keras. Cara penyimpanan pil sama seperti cara penyimpanan tablet, yaitu di dalam wadah yang kering, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya matahari langsung

MATERI SEDIAAN PULVIS ET PULVERES