PENDAHULUAN
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, suppositoria adalah sediaan padat
dalam berbagai bobot dan bentuk yang diberikan melalui rektal, vagina, atau
uretra.
Sediaan ini umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh.
Suppositoria dapat digunakan untuk melindungi jaringan setempat, atau sebagai
media pembawa zat terapeutik yang bersifat lokal maupun sistemik.
Bentuk suppositoria dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan
dengan nyaman, mudah dimasukkan ke dalam tempat yang diinginkan, dan dapat
mengeluarkan zat berkhasiat yang dibawa masuk ke dalam tubuh.
Pada saat dimasukkan ke dalam tempat yang diinginkan, suppositoria akan
meleleh, melunak, atau melarut menyebarkan zat berkhasiat yang dibawa ke
dalam jaringan. Obat ini akan ditahan dalam tempat tersebut untuk efek kerja
lokal, atau dapat pula diabsorbsi untuk mendapatkan efek sistemik.
Macam - macam Suppositoria
Berdasarkan bentuk dan tempat penggunaannya, suppositoria
dikelompokkan menjadi :
1. Rektal suppositoria
Secara umum sering disebut suppositoria saja. Suppositoria ini berbentuk
seperti peluru atau torpedo dan penggunaannya adalah dimasukkan ke
dalam anus atau dubur. Bobot suppositoria ini kurang lebih 2 gram. Kelebihan
suppositoria berbentuk torpedo ini adalah apabila bagian ujung yang besar
masuk ke dalam dubur atau anus, maka suppositoria akan masuk secara cepat
dan mudah dengan sendirinya.
2. Vaginal Suppositoria
Suppositoria ini memiliki nama lain ovula. Suppositoria ini umumnya
berbentuk bola lonjong menyerupai telur, lebih pendek, mudah melunak dan
meleleh pada suhu tubuh, dapat melarut dan digunakan pada vagina. Bobot
ovula adalah kurang lebih 5 gram.
Suppositoria kempa atau suppositoria sisipan adalah ovula yang berupa
massa serbuk dan dibuat dengan cara dikempa, atau dengan cara dimasukkan ke dalam kapsul gelatin lunak sesuai bentuk yang diinginkan.
Vaginal suppositoria atau ovula ini memiliki bahan dasar yang dapat larut atau
bercampur dengan air seperti PEG, gelatin tergliserinasi (70 bagian gliserin,
20 bagian gelatin, dan 10 bagian air), dan lain-lain. Ovula harus disimpan
dalam wadah tertutup rapat dengan suhu dibawah 35oC.
3. Urethral Suppositoria
Suppositoria ini dikenal juga dengan istilah bacilla, bougies. Penggunaan
suppositoria ini adalam melalui uretra atau saluran urin pria/wanita.
Suppositoria ini umumnya berbentuk panjang seperti pensil yang berukuran
7-14 cm.
Suppositoria untuk saluran urin pria berdiameter 3-6 mm dengan panjang 140
mm dan beratnya adalahh 4 gram. Sedangkan suppositoria untuk saluran urin
wanita panjang dan beratnya setengah dari ukuran suppositoria pria, yaitu
panjan 70 mm dan beratnya 2 gram.
Keuntungan Suppositoria
Dibandingkan dengan sediaan obat lainnya terutama peroral, suppositoria
memiliki beberapa kentungan, antara lain :
1. Mencegah terjadinya iritasi lambung pada pemakaian obat
2. Mencegah rusaknya obat akibat kontak dengan asam lambung atau enzym
pada saluran pencernaan
3. Efek obat relatif lebih cepat dibandingkan dengan sediaan peroral karena
langsung masuk ke dalam saluran darah
4. Cocok digunakan untuk pasien yang tidak bisa mengkonsumsi obat peroral
akibat mual muntah atau tidak sadar.
Tujuan Penggunaan Suppositoria
Sediaan obat dalam bentuk suppositoria digunakan untuk tujuan berikut :
1. Suppositoria dapat digunakan untuk tujuan pengobatan lokal, seperti anti
hemoroid, atau penyakit-penyakit infeksi pada area rektal, vaginal, dan
urethra
2. Suppositoria juga dapat digunakan untuk tujuan pengobatan sistemik.
Dalam hal ini yang sering digunakan adalah sediaan pada rektal, karena
area tersebut memiliki membran mukosa yang dapat mengabsorbsi obat ke
dalam saluran darah
3. Suppositoria dapat digunakan sebagai alternatif pemakaian obat pada
pasien yang sukar menelan obat, seperti pasien tidak sadar, pasien mual
muntah
4. Untuk mendapatkan aksi obat yang lebih cepat, karena obat dapat langsung
diabsorbsi melalui membran mukosa pada rektal
5. Suppositoria digunakan untuk menghindari kerusakan obat oleh asam
lambung dan enzim pencernaan, serta perubahan metabolisme obat secara
biokimia di dalam hati.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Obat Per Rektal
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi absorbsi obat dalam
bentuk suppositoria yang digunakan melalui rektal, antara lain :
1. Faktor fisiologis
Rektum manusia panjangnya sekitar 15-20 cm. Pada saat kolon dalam
keadaan kosong, rektum hanya mengandung 2-3 ml cairan mukosa yang
inert. Cairan tersebut memiliki pH kurang lebih 7,2 dan kapasitas daparnya
rendah. Struktur epitel pada rektum cenderung berlemak, sehingga lebih
permeabel pada obat-obat yang tidak terionisasi atau obat yang mudah
larut dalam lemak.
2. Faktor fisika dan kimia
Faktor fisika kimia dari obat atau zat aktif seperti kelarutan relatif obat dalam
lemak dan air serta ukuran partikel dari obat yang akan diabsorbsi. Sedangkan
faktor fisika kimia dari basis suppositoria meliputi kemampuannya melebur,
melunak, mencair, atau melarut di dalam tubuh,
kemampuannya dalam melepaskan bahan obat dan sifat hidrofilik dan
hidrofobiknya.
a. Kelarutan obat
Obat yang larut dalam lemak akan lebih cepat diabsorbsi pada rektal
daripada obat yang larut dalam air
b. Kadar obat dalam basis
Semakin tinggi kadar obat, maka absorbsinya juga akan semakin cepat
c. Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin mudah partikel tersebut
diabsorbsi pada rektal.
d. Basis suppositoria
Bahan dasar suppositoria harus dapat segera mencair, melunak atau
melarut agar dapat melepaskan zat aktif atau obat yang terkandung di
dalamnya dan segera diabsorbsi. Obat yang larut dalam air dan berada
dalam basis lemak akan segera dilepaskan ke dalam cairan rektal apabila
basis tersebut cepat melebur setelah masuk ke dalam rektum. Obat
akan segera diabsorbsi dan aksi kerja awal obat akan segera dihasilkan.
Sedangkan pada obat yang larut dalam air dan berada pada basis larut
air pula, maka aksi kerja awal obat baru akan dimulai jika basis sudah
melunak atau melarut dalam air dan obat dapat berpindah ke cairan
rektal.
Bahan Dasar Suppositoria
Bahan dasar atau basis suppositoria memiliki peran yang sangat penting
dalam hal mendukung pelepasan obat yang dikandungnya. Oleh karena itu,
sedapat mungkin basis suppositoria harus berbentuk padat pada suhu ruangan
tetapi segera melunak, melebur, atau larut dengan mudah di dalam rektal/
suhu tubuh sehingga obat yang terkandung di dalam suppositoria dapat segera
dilepaskan dan diabsorbsi oleh rektum.
Basis suppositoria yang baik harus
memiliki sifat berikut :
1. Berupa massa padat pada suhu kamar sehingga mudah dibentuk dan
digunakan, tetapi dapat melunak atau mencair pada suhu rektal dan dapat
bercampur dengan cairan tubuh
2. Bersifat inert, tidak berkhasiat, tidak beracun, dan tidak menyebabkan iritasi
3. Dapat bercampur dengan obat/zat berkhasiat
4. Pada penyimpanan bersifat stabil, tidak terjadi perubahan bentuk,
konsistensi, warna, bau, dan pemisahan obat
5. Memiliki kadar air yang cukup
6. Untuk basis berlemak, bilangan asam, bilangan iodium, dan bilangan
penyabunan harus jelas.
Bahan dasar suppositoria dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis berdasarkan sifat fisiknya, yaitu :
1. Basis bersifat minyak atau berlemak
Bahan dasar ini contohnya adalah oleum cacao atau lemak coklat. Basis
ini paling banyak dipakai karena sifatnya yang mudah mencair pada suhu
tubuh.
Lemak coklat merupakan lemak yang diperoleh dari biji Theobroma
cacao yang telah dipanggang. Warna oleum cacao pada suhu kamar adalah
putih kekuningan, sedikit redup, memiliki aroma seperti coklat.
Struktur kimianya merupakan trigliserida (campuran gliserin dan asam lemak yang
berbeda).
Oleum cacao meleleh pada suhu antara 34-36oC. Pada suhu dibawah
30oC merupakan massa padat. oleh karena salah satu sifat oleum cacao
yang mudah tengik maka suppositoria ini harus disimpan dalam wadah
yang kering, sejuk, dan terlindung dari cahaya.
Kandungan trigliserida yang terdapat pada oleum cacao jika terpapar
suhu yang terlalu tinggi diatas titik leburnya dapat menunjukkan sifat
polimorfisme, yaitu dapat terbentuk dalam berbagai bentuk kristal. Diatas
titik leburnya, oleum cacao dapat meleleh seluruhnya menjadi minyak, hal
ini menyebabkan oleum cacao kehilangan inti kristalnya dan membentuk
kristal metastabil, yaitu bentuk kristal yang memiliki titik lebur dibawah
titik lebur asalnya. Titik lebur ini mungkin terlalu rendah sehingga oleum
cacao tidak dapat menjadi padat kembali pada suhu ruangan.
Bentuk - bentuk kristal tersebut adalah :
a. Bentuk kristal α (alfa)
Merupakan kristal yang terjadi karena lelehan
oleum cacao didinginkan dengan segera pada suhu 0oC sehingga titik
leburnya berubah menjadi 22 - 24oC
b. Bentuk kristal β (beta)
Merupakan kristal yang terjadi karena lelehan
oleum cacao diaduk - aduk pada suhu 18 - 23oC sehingga titik leburnya
berubah menjadi 28-31oC
c. Bentuk kristal β stabil (beta stabil)
Merupakan kristal yang terjadi dari
perubahan perlahan-lahan bentuk dan kontraksi volume sehingga titik
leburnya berubah menjadi 34 - 35oC
d. Bentuk kristal γ (gamma)
Merupakan kristal yang terjadi karena
pendinginan lelehan oleum cacao yang sudah terlanjur dingin (20oC)
sehingga titik leburnya berubah menjadi 18oC
Untuk menghindari bentuk-bentuk kristal yang tidak stabil tersebut,
dapat dilakukan beberapa cara yaitu :
a. Dalam pembuatan suppositoria, oleum cacao tidak dilelehkan
seluruhnya, tetapi hanya 2/3 saja yang dilelehkan dan sisanya tetap
dalam keadaan padat
b. Menambahkan sedikit bentuk kristal stabil ke dalam lelehan oleum
cacao untuk mempercepat perubahan bentuk tidak staabil menjadi
bentuk stabil
c. Lelehan oleum cacao dibekukan selama beberapa jam atau hari
d. Pemanasan oleum cacao sebaiknya dilakukan hingga cukup meleleh
saja dan mudah dituang, sehingga tetap mengandung inti kristal dari
bentuk stabil.
Untuk menaikkan titik lebur oleum cacao dapat dilakukan dengan
penambahan cera atau cetaceum (spermaseti). Cera flava yang ditambahkan
tidak boleh lebih dari 6% karena akan menghasilkan campuran yang
memiliki titik lebur 37oC, dan tidak boleh kurang dari 4% karena akan
menghasilkan campuran dengan titik lebur dibawah 33oC.
Jika bahan obat
yang akan dibuat suppositoria merupakan larutan dalam air, perlu diingat
bahwa oleum cacao hanya dapat menyerap sedikit air, penambahan cera
flava juga dapat meningkatkan daya serap oleum cacao terhadap air. Untuk
menurunkan titik lebur oleum cacao yang terlalu tinggi dapat menggunakan
kloralhidrat, fenol, atau minyak atsiri dalam jumlah kecil.
Oleum cacao dapat meleleh pada suhu tubuh dan tidak dapat bercampur
dengan cairan tibuh, sehingga dapat menghambat difusi obat yang larut
dalam lemak pada tempat yang diobati. Oleum cacao jarang digunakan
untuk sediaan ovula pada vagina karena dapat meninggalkan sisa atau
residu yang tidak dapat diserap.
Suppositoria dengan basis oleum cacao
dapat dibuat dengan cara mencampurkan bahan obat yang telah dihaluskan
ke dalam minyak lemak padat pada suhu kamar kemudian dicetak, atau
dibuat dengan cara melebur oleum cacao bersama bahan obat kemudian
dibiarkan hingga dingin di dalam cetakan. Suppositoria yang dihasilkan
harus disimpan dalam wadah tertutup baik pada suhu dibawah 30oC.
Dalam pembuatan suppositoria dengan bahan dasar oleum cacao
sebaiknya dihindari pemakaian air sebagai pelarut bahan obat, hal ini
dikarenakan beberapa sebab yaitu :
a. Menimbulakn reaksi antara beberapa bahan obat yang terkandung di
dalam suppositoria
b. Menyebabkan oleum cacao cepat berbau tengik
c. Jika airnya menguap, maka bahan obat tersebut akan mengkristal dan
memisah pada suppositoria.
Terdapat beberapa kekurangan oleum cacao sebagai basis suppositoria
antara lain :
a. Dapat meleleh pada udara panas, maka harus berhati-hati terutama
pada saat distribusi
b. Pada penyimpanan yang lama dapat berubah menjadi tengik, terutama
bila suhu atau kondisi penyimpanan tidak sesuai
c. Memiliki sifat polimorfisme
d. Titik lebur oleum cacao dapat turun atau naik dengan penambahan zat
tertentu
e. Pada saat pemakaian membutuhkan posisi yang tepat, karena dapat
keluar dari rektum akibat langsung mencair pada suhu tubuh
f. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi
Oleh karena terdapat beberapa kekurangan oleum cacao diatas, maka
beberapa industri farmasi mencari alternatif pengganti oleum cacao
sebagai basis suppositoria, antara lain :
a. Campuran asam oleat dengan asam stearat dengan perbandingan
tertentu
b. Campuran cetil alkohol dengan oleum amygdalarum dengan
perbandingan 17:83
c. Sediaan oleum cacao sintesis, seperti Coa buta, supositol
2. Basis yang larut dalam air atau dapat bercampur dengan air
Bahan dasar ini contohnya PEG, campuran gelatin - gliserin.
Basis ini
memiliki titik lebur 35-63oC.
Basis ini tidak meleleh pada suhu tubuh, tetapi
dapat larut dalam cairan sekresi tubuh. Oleh karena itu formulasi suppositoria
dengan basis ini tidak membutuhkan kondisi khusus terkait suhu pencampuran
maupun suhu penyimpanan.
Polietilen glikol (PEG) adalah polimer dari etilen oksida dan air, dibuat
menjadi bermacam-macam panjang rantainya. Senyawa ini tersedia dalam
beberapa berat molekul yang berbeda, yang paling banyak dijumpai atau
tersedia adalah PEG 200. 400, 600, 1000, 1500, 3350, 4000, dan 6000.
Pemberian nomor menunjukkan berat molekul rata-rata dari masing-masing
polimernya. PEG yang memiliki berat molekul 200, 400, 600 merupakan
cairan bening tidak berwarna, sedangkan yang memiliki berat molekul diatas
1000 berupa lilin putih, padat lunak, kepadatannya bertambah dengan
bertambahnya berat molekul.
Beberapa jenis PEG lebih dari satu berat molekul
dapat digabung dengan cara melebur untuk memperoleh basis suppositoria
yang diinginkan.
Formula yang sering dipakai adalah campuran PEG 4000 dan PEG 1000
dengan perbandingan 25:75 (bahan dasar tidak berair), campuran PEG 1540,
PEG 6000, dan larutan obat dengan perbandingan 30:50:20 (bahan dasar
berair).
PEG sangat cocok untuk obat antiseptik lokal. Bila diharapkan bekerja
secara sistemik, maka lebih baik menggunakan bentuk ionik daripada non
ionik agar memperoleh bioavaibilitas (ketersediaan hayati) yang optimal.
Meskipun bentuk non ionik dapat dilepaskan dari basis yang dapat bercampur
dengan air seperti gelatin tergliserinasi atau PEG, tetapi relatif sangat lambat
larut sehingga dapat menghambat pelepasan obat.
Keuntungan suppositoria dengan basis PEG adalah
sebagai berikut :
a. Tidak ada aturan mengenai titik leburnya, karena sifatnya yang dipakai
adalah dapat larut dalam cairan sekresi
b. Tidang mengiritasi atau merangsang rektum
c. Dapat dismpan diluar lemari es
d. Dapat tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada
suhu tubuh
e. Tidak mudah bocor atau meleleh keluar dari rektum seperti oleum cacao
Apabila suppositoria dengan PEG tidak mengandung 20% air untuk
mencegah rangsangan membran mukosa, maka suppositoria tersebut harus
dicelupkan ke dalam air terlebih dahulu sebelum digunakan untuk mencegah
ditariknya cairan dari jaringan tubuh saat dipakai dan terjadi rasa menyengat.
Pada etiket suppositoria basis ini harus tertulis ” Basahi dengan air sebelum
digunakan”.
Suppositoria dengan bahan dasar gelatin-gliserin sangat cocok digunakan
dalam pembuatan suppositoria vagina karena memang diharapkan efek yang
panjang pada tempat aksi obat.
Basis gelatin gliserin lebih lambat melunak
dan bercampur dengan cairan tubuh daripada oleum cacao, oleh karena itu
waktu pelepasan bahan obat relatif lama.
Gelatin gliserin bersifat higroskopis, yaitu menyerap uap air yang ada di
sekitarnya, oleh karena itu basis ini harus dilindungi dari udara lembab agar
terjaga bentuk dan konsistensi suppositorianya. Suppositoria dengan basis
ini juga perlu dibasahi dengan air sebelum pemakaiannya untuk menghindari
ditariknya cairan dari jaringan tubuh saat dipakai, sama halnya dengan basis
PEG.
Suppositoria dengan basis gelatin-gliserin sebaiknya ditambahkan bahan
pengawet seperti nipagin karena bahan dasar ini merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri. Suppositoria saluran urin (urethra) juga dibuat
dengan basis gelatin gliserin dengan formula gelatin, gliserin, dan larutan
obat (obat dan air) dengan perbandingan 60:20:20. Suppositoria saluran urin
dengan basis ini lebih mudah dimasukkan daripada basis oleum cacao, karena
kerapuhan oleum cacao dan cepatnya melunak pada suhu tubuh.
3. Basis dasar lain
Bahan dasar ini merupakan kombinasi dari bahan emulgator atau hidrofiliklipofilik.
Contohnya adalah campuran tween 61 dan gliserin laurat dengan
perbandingan 85:15.
Bahan dasar ini merupakan pembentuk emulsi w/o.
Bahan dasar ini dapat menahan air atau larutan berair. Berat suppositoria
dengan bahan dasar ini 2,5 gram