Selasa, 03 Januari 2023

MATERI SEDIAAN SUPPOSITORIA (BAGIAN 01)

PENDAHULUAN

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang diberikan melalui rektal, vagina, atau uretra. 
Sediaan ini umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat digunakan untuk melindungi jaringan setempat, atau sebagai media pembawa zat terapeutik yang bersifat lokal maupun sistemik. 
Bentuk suppositoria dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dengan nyaman, mudah dimasukkan ke dalam tempat yang diinginkan, dan dapat mengeluarkan zat berkhasiat yang dibawa masuk ke dalam tubuh. Pada saat dimasukkan ke dalam tempat yang diinginkan, suppositoria akan meleleh, melunak, atau melarut menyebarkan zat berkhasiat yang dibawa ke dalam jaringan. Obat ini akan ditahan dalam tempat tersebut untuk efek kerja lokal, atau dapat pula diabsorbsi untuk mendapatkan efek sistemik.

Macam - macam Suppositoria 

Berdasarkan bentuk dan tempat penggunaannya, suppositoria dikelompokkan menjadi : 

1. Rektal suppositoria 

Secara umum sering disebut suppositoria saja. Suppositoria ini berbentuk seperti peluru atau torpedo dan penggunaannya adalah dimasukkan ke dalam anus atau dubur. Bobot suppositoria ini kurang lebih 2 gram. Kelebihan suppositoria berbentuk torpedo ini adalah apabila bagian ujung yang besar masuk ke dalam dubur atau anus, maka suppositoria akan masuk secara cepat dan mudah dengan sendirinya.

2. Vaginal Suppositoria 

Suppositoria ini memiliki nama lain ovula. Suppositoria ini umumnya berbentuk bola lonjong menyerupai telur, lebih pendek, mudah melunak dan meleleh pada suhu tubuh, dapat melarut dan digunakan pada vagina. Bobot ovula adalah kurang lebih 5 gram. 

Suppositoria kempa atau suppositoria sisipan adalah ovula yang berupa massa serbuk dan dibuat dengan cara dikempa, atau dengan cara dimasukkan ke dalam kapsul gelatin lunak sesuai bentuk yang diinginkan. Vaginal suppositoria atau ovula ini memiliki bahan dasar yang dapat larut atau bercampur dengan air seperti PEG, gelatin tergliserinasi (70 bagian gliserin, 20 bagian gelatin, dan 10 bagian air), dan lain-lain. Ovula harus disimpan dalam wadah tertutup rapat dengan suhu dibawah 35oC.

3. Urethral Suppositoria 

Suppositoria ini dikenal juga dengan istilah bacilla, bougies. Penggunaan suppositoria ini adalam melalui uretra atau saluran urin pria/wanita. Suppositoria ini umumnya berbentuk panjang seperti pensil yang berukuran 7-14 cm. Suppositoria untuk saluran urin pria berdiameter 3-6 mm dengan panjang 140 mm dan beratnya adalahh 4 gram. Sedangkan suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya setengah dari ukuran suppositoria pria, yaitu panjan 70 mm dan beratnya 2 gram.

Keuntungan Suppositoria 

Dibandingkan dengan sediaan obat lainnya terutama peroral, suppositoria memiliki beberapa kentungan, antara lain : 
1. Mencegah terjadinya iritasi lambung pada pemakaian obat 
2. Mencegah rusaknya obat akibat kontak dengan asam lambung atau enzym pada saluran pencernaan 
3. Efek obat relatif lebih cepat dibandingkan dengan sediaan peroral karena langsung masuk ke dalam saluran darah 
4. Cocok digunakan untuk pasien yang tidak bisa mengkonsumsi obat peroral akibat mual muntah atau tidak sadar.

Tujuan Penggunaan Suppositoria 

Sediaan obat dalam bentuk suppositoria digunakan untuk tujuan berikut : 
1. Suppositoria dapat digunakan untuk tujuan pengobatan lokal, seperti anti hemoroid, atau penyakit-penyakit infeksi pada area rektal, vaginal, dan urethra 
2. Suppositoria juga dapat digunakan untuk tujuan pengobatan sistemik. Dalam hal ini yang sering digunakan adalah sediaan pada rektal, karena area tersebut memiliki membran mukosa yang dapat mengabsorbsi obat ke dalam saluran darah 
3. Suppositoria dapat digunakan sebagai alternatif pemakaian obat pada pasien yang sukar menelan obat, seperti pasien tidak sadar, pasien mual muntah 
4. Untuk mendapatkan aksi obat yang lebih cepat, karena obat dapat langsung diabsorbsi melalui membran mukosa pada rektal 
5. Suppositoria digunakan untuk menghindari kerusakan obat oleh asam lambung dan enzim pencernaan, serta perubahan metabolisme obat secara biokimia di dalam hati.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Obat Per Rektal

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi absorbsi obat dalam bentuk suppositoria yang digunakan melalui rektal, antara lain : 

1. Faktor fisiologis 

Rektum manusia panjangnya sekitar 15-20 cm. Pada saat kolon dalam keadaan kosong, rektum hanya mengandung 2-3 ml cairan mukosa yang inert. Cairan tersebut memiliki pH kurang lebih 7,2 dan kapasitas daparnya rendah. Struktur epitel pada rektum cenderung berlemak, sehingga lebih permeabel pada obat-obat yang tidak terionisasi atau obat yang mudah larut dalam lemak. 

2. Faktor fisika dan kimia 

Faktor fisika kimia dari obat atau zat aktif seperti kelarutan relatif obat dalam lemak dan air serta ukuran partikel dari obat yang akan diabsorbsi. Sedangkan faktor fisika kimia dari basis suppositoria meliputi kemampuannya melebur, melunak, mencair, atau melarut di dalam tubuh, kemampuannya dalam melepaskan bahan obat dan sifat hidrofilik dan hidrofobiknya.

a. Kelarutan obat 

Obat yang larut dalam lemak akan lebih cepat diabsorbsi pada rektal daripada obat yang larut dalam air 

b. Kadar obat dalam basis 

Semakin tinggi kadar obat, maka absorbsinya juga akan semakin cepat 

c. Ukuran partikel 

Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin mudah partikel tersebut diabsorbsi pada rektal. 

d. Basis suppositoria 

Bahan dasar suppositoria harus dapat segera mencair, melunak atau melarut agar dapat melepaskan zat aktif atau obat yang terkandung di dalamnya dan segera diabsorbsi. Obat yang larut dalam air dan berada dalam basis lemak akan segera dilepaskan ke dalam cairan rektal apabila basis tersebut cepat melebur setelah masuk ke dalam rektum. Obat akan segera diabsorbsi dan aksi kerja awal obat akan segera dihasilkan. Sedangkan pada obat yang larut dalam air dan berada pada basis larut air pula, maka aksi kerja awal obat baru akan dimulai jika basis sudah melunak atau melarut dalam air dan obat dapat berpindah ke cairan rektal.

Bahan Dasar Suppositoria 

Bahan dasar atau basis suppositoria memiliki peran yang sangat penting dalam hal mendukung pelepasan obat yang dikandungnya. Oleh karena itu, sedapat mungkin basis suppositoria harus berbentuk padat pada suhu ruangan tetapi segera melunak, melebur, atau larut dengan mudah di dalam rektal/ suhu tubuh sehingga obat yang terkandung di dalam suppositoria dapat segera dilepaskan dan diabsorbsi oleh rektum. 

Basis suppositoria yang baik harus memiliki sifat berikut : 

1. Berupa massa padat pada suhu kamar sehingga mudah dibentuk dan digunakan, tetapi dapat melunak atau mencair pada suhu rektal dan dapat bercampur dengan cairan tubuh 
2. Bersifat inert, tidak berkhasiat, tidak beracun, dan tidak menyebabkan iritasi 
3. Dapat bercampur dengan obat/zat berkhasiat 
4. Pada penyimpanan bersifat stabil, tidak terjadi perubahan bentuk, konsistensi, warna, bau, dan pemisahan obat 
5. Memiliki kadar air yang cukup 
6. Untuk basis berlemak, bilangan asam, bilangan iodium, dan bilangan penyabunan harus jelas. 

Bahan dasar suppositoria dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis berdasarkan sifat fisiknya, yaitu : 

1. Basis bersifat minyak atau berlemak 

Bahan dasar ini contohnya adalah oleum cacao atau lemak coklat. Basis ini paling banyak dipakai karena sifatnya yang mudah mencair pada suhu tubuh. 
Lemak coklat merupakan lemak yang diperoleh dari biji Theobroma cacao yang telah dipanggang. Warna oleum cacao pada suhu kamar adalah putih kekuningan, sedikit redup, memiliki aroma seperti coklat. 
Struktur kimianya merupakan trigliserida (campuran gliserin dan asam lemak yang berbeda). Oleum cacao meleleh pada suhu antara 34-36oC. Pada suhu dibawah 30oC merupakan massa padat. oleh karena salah satu sifat oleum cacao yang mudah tengik maka suppositoria ini harus disimpan dalam wadah yang kering, sejuk, dan terlindung dari cahaya.

Kandungan trigliserida yang terdapat pada oleum cacao jika terpapar suhu yang terlalu tinggi diatas titik leburnya dapat menunjukkan sifat polimorfisme, yaitu dapat terbentuk dalam berbagai bentuk kristal. Diatas titik leburnya, oleum cacao dapat meleleh seluruhnya menjadi minyak, hal ini menyebabkan oleum cacao kehilangan inti kristalnya dan membentuk kristal metastabil, yaitu bentuk kristal yang memiliki titik lebur dibawah titik lebur asalnya. Titik lebur ini mungkin terlalu rendah sehingga oleum cacao tidak dapat menjadi padat kembali pada suhu ruangan. 

Bentuk - bentuk kristal tersebut adalah :

a. Bentuk kristal α (alfa)
Merupakan kristal yang terjadi karena lelehan oleum cacao didinginkan dengan segera pada suhu 0oC sehingga titik leburnya berubah menjadi 22 - 24oC 

b. Bentuk kristal β (beta)
Merupakan kristal yang terjadi karena lelehan oleum cacao diaduk - aduk pada suhu 18 - 23oC sehingga titik leburnya berubah menjadi 28-31oC  

c. Bentuk kristal β stabil (beta stabil)
Merupakan kristal yang terjadi dari perubahan perlahan-lahan bentuk dan kontraksi volume sehingga titik leburnya berubah menjadi 34 - 35oC  

d. Bentuk kristal γ (gamma)
Merupakan kristal yang terjadi karena pendinginan lelehan oleum cacao yang sudah terlanjur dingin (20oC) sehingga titik leburnya berubah menjadi 18oC 

Untuk menghindari bentuk-bentuk kristal yang tidak stabil tersebut, dapat dilakukan beberapa cara yaitu : 
a. Dalam pembuatan suppositoria, oleum cacao tidak dilelehkan seluruhnya, tetapi hanya 2/3 saja yang dilelehkan dan sisanya tetap dalam keadaan padat 
b. Menambahkan sedikit bentuk kristal stabil ke dalam lelehan oleum cacao untuk mempercepat perubahan bentuk tidak staabil menjadi bentuk stabil 
c. Lelehan oleum cacao dibekukan selama beberapa jam atau hari d. Pemanasan oleum cacao sebaiknya dilakukan hingga cukup meleleh saja dan mudah dituang, sehingga tetap mengandung inti kristal dari bentuk stabil.

Untuk menaikkan titik lebur oleum cacao dapat dilakukan dengan penambahan cera atau cetaceum (spermaseti). Cera flava yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 6% karena akan menghasilkan campuran yang memiliki titik lebur 37oC, dan tidak boleh kurang dari 4% karena akan menghasilkan campuran dengan titik lebur dibawah 33oC. 

Jika bahan obat yang akan dibuat suppositoria merupakan larutan dalam air, perlu diingat bahwa oleum cacao hanya dapat menyerap sedikit air, penambahan cera flava juga dapat meningkatkan daya serap oleum cacao terhadap air. Untuk menurunkan titik lebur oleum cacao yang terlalu tinggi dapat menggunakan kloralhidrat, fenol, atau minyak atsiri dalam jumlah kecil. 

Oleum cacao dapat meleleh pada suhu tubuh dan tidak dapat bercampur dengan cairan tibuh, sehingga dapat menghambat difusi obat yang larut dalam lemak pada tempat yang diobati. Oleum cacao jarang digunakan untuk sediaan ovula pada vagina karena dapat meninggalkan sisa atau residu yang tidak dapat diserap. 

Suppositoria dengan basis oleum cacao dapat dibuat dengan cara mencampurkan bahan obat yang telah dihaluskan ke dalam minyak lemak padat pada suhu kamar kemudian dicetak, atau dibuat dengan cara melebur oleum cacao bersama bahan obat kemudian dibiarkan hingga dingin di dalam cetakan. Suppositoria yang dihasilkan harus disimpan dalam wadah tertutup baik pada suhu dibawah 30oC. 

Dalam pembuatan suppositoria dengan bahan dasar oleum cacao sebaiknya dihindari pemakaian air sebagai pelarut bahan obat, hal ini dikarenakan beberapa sebab yaitu : 
a. Menimbulakn reaksi antara beberapa bahan obat yang terkandung di dalam suppositoria 
b. Menyebabkan oleum cacao cepat berbau tengik 
c. Jika airnya menguap, maka bahan obat tersebut akan mengkristal dan memisah pada suppositoria.

Terdapat beberapa kekurangan oleum cacao sebagai basis suppositoria antara lain : 

a. Dapat meleleh pada udara panas, maka harus berhati-hati terutama pada saat distribusi b. Pada penyimpanan yang lama dapat berubah menjadi tengik, terutama bila suhu atau kondisi penyimpanan tidak sesuai 
c. Memiliki sifat polimorfisme 
d. Titik lebur oleum cacao dapat turun atau naik dengan penambahan zat tertentu 
e. Pada saat pemakaian membutuhkan posisi yang tepat, karena dapat keluar dari rektum akibat langsung mencair pada suhu tubuh 
f. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi 

Oleh karena terdapat beberapa kekurangan oleum cacao diatas, maka beberapa industri farmasi mencari alternatif pengganti oleum cacao sebagai basis suppositoria, antara lain : 
a. Campuran asam oleat dengan asam stearat dengan perbandingan tertentu 
b. Campuran cetil alkohol dengan oleum amygdalarum dengan perbandingan 17:83 
c. Sediaan oleum cacao sintesis, seperti Coa buta, supositol

2. Basis yang larut dalam air atau dapat bercampur dengan air 


Bahan dasar ini contohnya PEG, campuran gelatin - gliserin. 
Basis ini memiliki titik lebur 35-63oC. 
Basis ini tidak meleleh pada suhu tubuh, tetapi dapat larut dalam cairan sekresi tubuh. Oleh karena itu formulasi suppositoria dengan basis ini tidak membutuhkan kondisi khusus terkait suhu pencampuran maupun suhu penyimpanan.

Polietilen glikol (PEG) adalah polimer dari etilen oksida dan air, dibuat menjadi bermacam-macam panjang rantainya. Senyawa ini tersedia dalam beberapa berat molekul yang berbeda, yang paling banyak dijumpai atau tersedia adalah PEG 200. 400, 600, 1000, 1500, 3350, 4000, dan 6000. 

Pemberian nomor menunjukkan berat molekul rata-rata dari masing-masing polimernya. PEG yang memiliki berat molekul 200, 400, 600 merupakan cairan bening tidak berwarna, sedangkan yang memiliki berat molekul diatas 1000 berupa lilin putih, padat lunak, kepadatannya bertambah dengan bertambahnya berat molekul. 
Beberapa jenis PEG lebih dari satu berat molekul dapat digabung dengan cara melebur untuk memperoleh basis suppositoria yang diinginkan. 

Formula yang sering dipakai adalah campuran PEG 4000 dan PEG 1000 dengan perbandingan 25:75 (bahan dasar tidak berair), campuran PEG 1540, PEG 6000, dan larutan obat dengan perbandingan 30:50:20 (bahan dasar berair). 

PEG sangat cocok untuk obat antiseptik lokal. Bila diharapkan bekerja secara sistemik, maka lebih baik menggunakan bentuk ionik daripada non ionik agar memperoleh bioavaibilitas (ketersediaan hayati) yang optimal. 
Meskipun bentuk non ionik dapat dilepaskan dari basis yang dapat bercampur dengan air seperti gelatin tergliserinasi atau PEG, tetapi relatif sangat lambat larut sehingga dapat menghambat pelepasan obat. 

Keuntungan suppositoria dengan basis PEG adalah sebagai berikut : 
a. Tidak ada aturan mengenai titik leburnya, karena sifatnya yang dipakai adalah dapat larut dalam cairan sekresi 
b. Tidang mengiritasi atau merangsang rektum 
c. Dapat dismpan diluar lemari es 
d. Dapat tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh 
e. Tidak mudah bocor atau meleleh keluar dari rektum seperti oleum cacao

Apabila suppositoria dengan PEG tidak mengandung 20% air untuk mencegah rangsangan membran mukosa, maka suppositoria tersebut harus dicelupkan ke dalam air terlebih dahulu sebelum digunakan untuk mencegah ditariknya cairan dari jaringan tubuh saat dipakai dan terjadi rasa menyengat. 

Pada etiket suppositoria basis ini harus tertulis ” Basahi dengan air sebelum digunakan”. Suppositoria dengan bahan dasar gelatin-gliserin sangat cocok digunakan dalam pembuatan suppositoria vagina karena memang diharapkan efek yang panjang pada tempat aksi obat. 

Basis gelatin gliserin lebih lambat melunak dan bercampur dengan cairan tubuh daripada oleum cacao, oleh karena itu waktu pelepasan bahan obat relatif lama. Gelatin gliserin bersifat higroskopis, yaitu menyerap uap air yang ada di sekitarnya, oleh karena itu basis ini harus dilindungi dari udara lembab agar terjaga bentuk dan konsistensi suppositorianya. Suppositoria dengan basis ini juga perlu dibasahi dengan air sebelum pemakaiannya untuk menghindari ditariknya cairan dari jaringan tubuh saat dipakai, sama halnya dengan basis PEG. 

Suppositoria dengan basis gelatin-gliserin sebaiknya ditambahkan bahan pengawet seperti nipagin karena bahan dasar ini merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Suppositoria saluran urin (urethra) juga dibuat dengan basis gelatin gliserin dengan formula gelatin, gliserin, dan larutan obat (obat dan air) dengan perbandingan 60:20:20. Suppositoria saluran urin dengan basis ini lebih mudah dimasukkan daripada basis oleum cacao, karena kerapuhan oleum cacao dan cepatnya melunak pada suhu tubuh.

3. Basis dasar lain 


Bahan dasar ini merupakan kombinasi dari bahan emulgator atau hidrofiliklipofilik. 
Contohnya adalah campuran tween 61 dan gliserin laurat dengan perbandingan 85:15. 
Bahan dasar ini merupakan pembentuk emulsi w/o. 
Bahan dasar ini dapat menahan air atau larutan berair. Berat suppositoria dengan bahan dasar ini 2,5 gram

MATERI SEDIAAN PULVIS ET PULVERES